Pages

September 6, 2009

p e r i s c o p e | Fenomena Mengeluh Manusia Asia



Mereka yang mampu
harus melakukan.

Yang tak mampu
harus mengajar.

Dan yang tak mampu mengajar
harus menjadi administrator.

LEWIS PERDUE; 'Daughter of God', Dastan Books, 2006



Seorang dokter di salah satu negara Eropa, yang tengah memeriksa pasiennya yang kebetulan adalah orang Indonesia, tiba-tiba bergumam melontarkan uneg-uneg pribadinya yang sudah sekian lama terpendam:

"Dulu, saya berpendapat, bahwa kalian orang-orang Indonesia itu atau orang-orang Asia pada umumnya, yang lazim dikenal sangat religius, gotong royong, dan nonkapitalistik; walaupun secara fisik adalah jauh lebih lemah dibandingkan dengan orang-orang Barat, namun secara 'mentalitas', 'psikologis', dan 'spiritualitas', kalian tentunya masih lebih menonjol, bahkan lebih tahan menderita ketimbang orang-orang Barat yang kadung terbiasa hidup dalam corak masyarakat bernuansakan individualisme, sekulerisme, dan kapitalisme.

"Namun, setelah puluhan tahun berpraktik sebagai dokter yang kebetulan banyak bergaul dan berpengalaman mengobati ragam pasien terutama dari Indonesia serta negara-negara Asia lainnya; lambat laun pandangan, analisis, dan persepsi saya ini, sayangnya harus segera berubah total.

"Yang menjadi sumber penyebabnya, dikarenakan mayoritas dari pasien-pasien saya yang berkebangsaan Indonesia ataupun negara-negara Asia lainnya, setelah saya perhatikan secara teliti, nyatanya kok mudah sekali 'mengeluh', 'cepat berputus asa', 'gampang merasa cemas', dan 'kurang bisa menahan rasa sakit'. Sungguh jauh beda nian dengan pasien-pasien Barat yang saya saksikan sendiri lebih memperlihatkan ekspresi ketabahan, tak suka sembarangan nyinyir berkeluh kesah, dan tetap punya segudang optimisme tinggi walau didera penyakit payah.

"Oleh karena itu, usai mencermati fenomena ini, menukik pertanyaan di lubuk hati saya -- kalaulah persepsi saya ini memang benar adanya -- lantas apa saja kiranya yang dapat manusia Asia, termasuk Indonesia, 'banggakan', 'tawarkan', 'pasarkan', jika semisal kalian ini hendak berhadapan, bersaing, atau bernegosiasi dengan manusia-manusia Barat? Masih tersisakah segelintir kelebihan tertentu yang kalian miliki selaku bangsa Asia, terutama sebagai bangsa Indonesia, yang diyakini tidaklah dimiliki oleh bangsa Barat?

"Coba Anda bayangkan. Secara agregat postur fisik kalian kalah telak. Orang Barat jauh lebih kekar, bahkan lebih menarik, serba keren, ganteng dan cantik.

"Dari sisi kecerdasan, kalian masih sedemikian jauh tertinggal bagai bumi dan langit. Boleh dibilang semua teori yang kalian pakai berasal dari belahan Barat.

"Mentalitas? Oh, saya ulangi sekali lagi, dari realitas yang saya jumpai, nampaknya kalianlah yang justru lebih cepat mengeluh, patah semangat, dan bermotivasi rendah ketimbang manusia-manusia Barat!

"Kalau kekayaan, materi, uang, kemakmuran? Ah, maaf, bangsa Barat jauh lebih kaya, juga lebih makmur, walaupun secara jujur harus saya utarakan bahwa sebahagian kekayaan tersebut diperoleh mereka dengan cara merampok dari negeri jajahan, dan sebahagian lainnya, memang melalui jalur prestasi kerja keras!

"Sedangkan mengenai akselerasi seni budaya adiluhung? Rasanya presentasi kultural Barat masih lebih monumental ketimbang karya-karya Asia umumnya, termasuk pula Indonesia khususnya. Karya-karya sastra, film, tarian, teater, lukisan, musik, nyanyian dari manusia-manusia Barat jauh lebih memukau dan otentik. Tak perlu heran jika seabreg pelanggaran hak cipta pun marak di Asia, apalagi Indonesia, akibat rendahnya kreativitas dibarengi hukum yang serba longgar dan manipulatif. Di Barat, kreativitas melejit hampir sempurna diikuti dominasi hukum yang sanggup ditegakkan dengan pasti tanpa kompromi.

"Belum lagi kalau kita bicara soal 'presisi kerja', 'keteraturan dan ketertiban administrasi', 'kualitas dan kinerja organisasi'. Sudah pasti Barat makin tak terkejar, mereka bergerak sigap melayang ke angkasa raya hingga menyelami lautan terdalam di seluruh pelosok dunia.

"Akhirnya, jika mengikuti arus nalar sehat pribadi, maka mau tak mau saya 'terpaksa harus berani menyimpulkan' bahwa bangsa-bangsa Asia termasuk di dalamnya bangsa Indonesia (terkecuali Jepang), hampirlah tidak mungkin lagi punya sebongkah kesanggupan untuk mampu mengejar, melawan, berhadapan, memasarkan, ataupun bernegosiasi 'secara seimbang' dengan bangsa-bangsa Barat.

"Saya berkeyakinan penuh bahwa yang akan terjadi sampai akhir abad ini, tak lain hanyalah eksploitasi 'ke-kami-an' Barat terhadap 'ke-kamu-an' Indonesia, eksploitasi Barat yang superior terhadap Asia, termasuk Indonesia yang inferior: bukan kerja sama 'ke-kita-an' dengan kapasitas yang sederajat.

"Dari sudut pandang profesi saya -- atas nama sumpah kedokteran yang menjunjung kemuliaan martabat kemanusiaan -- fenomena ketidak seimbangan ini tak boleh dibiarkan berlarut hingga tak jelas juntrungannya dan perlu segera dicari jalan keluar genialnya. Tetapi bagaimanakah caranya? Siapakah yang dianggap sanggup merumuskan solusinya secara cemerlang? Di segala lini bangsa-bangsa Asia termasuk Indonesia sejatinya sudah telak terlumpuhkan, tertaklukkan menjadi 'masyarakat impoten'.

"Sampai detik sekarang, saat saya berdiri di hadapan Anda, belum juga tercerap di nalar saya, cahaya solusi yang bisa diterapkan untuk menyibak dan mengoyak ketemaraman demikian. Ini masalah abstrak yang hanya sanggup dilacak oleh mereka yang diberkahi 'kekuasaan sekaligus mata dan nyali tajam'.

"Apalah daya saya, seorang dokter yang sehari-hari sibuk menggeluti problematika jasmani para pasiennya, bukan aparatus tertinggi birokrasi yang punya segudang kuasa dalam menentukan masa depan suatu bangsa!

"Atau, boleh jadi, diam-diam Anda sudah punya jalan keluarnya, kristalisasi jawabannya?"

Namun di ujung percakapan satu arah ini, dengan segudang rasa malu, pasien dari bumi Indonesia tersebut, sialnya tak sanggup menjawab pertanyaan jelimet sang dokter. Ia hanya tertunduk lesu dengan pikiran beku, terpojokkan sambil membatin lirih: Ampun Gusti, hari ini agaknya hamba hanya bisa berpasrah dan beserah diri kepada Mu saja ....

(Catatan: kisah ini bukan rekaan tetapi rekonstruksi imajinatif atmosfir perbincangan riil antara dokter dan pasiennya -- walaupun cenderung monolog -- yang pernah dialami oleh seorang akademisi Indonesia yang cukup punya nama sewaktu berobat ke salah satu dokter Barat lanjut usia yang sekaligus pula merupakan sahabat karibnya di tanah Eropa).

[] Photo: National Geographic []

September 5, 2009

p e r i s c o p e | Nuansa Hegemonistik Politik Menuai Tembang Sunyi Pesta Demokrasi





Sebelum terlambat!
Mumpung rumahmu masih berdiri kokoh,
gudangmu masih penuh,
dan mumpung masih bisa menawar
dengan harga yang baik
untuk bisnis gagalmu.
PATRICK SUSKIND; 'Perfume', Dastan Books, 2006



Boleh dibilang, sudah banyak orang merasakan ada semacam benang merah keganjilan dalam kiprah berpolitik para politisi kita, di mana kekuasaan yang tergenggam di tangan sang politisi beserta partai politik asuhannya semakin nampak jumawa memabukkan, dan bahkan ditenggarai berkecenderungan mengilhami timbulnya hasrat perilaku adiksi mereka untuk berhegemoni meminimalkan kompetisi, misalnya melalui manuver di parlemen dalam menggiring lahirnya 'perundang-undangan nan egoistik' yang diperkirakan bakalan ampuh melanggengkan jejak dominasi diri berikut kelompok ikutannya di kerlap-kerlip panggung sandiwara kehidupan politik anak bangsa.


Padahal, bagi mereka yang mau berpikir arif, siasat merajut benang hegemoni politik dan kekuasaan melalui skenario menggiring proses pengesahan 'perundang-undangan nan egoistik' seperti itu, disadari tidaklah selamanya bisa mendatangkan hasil adekuat sesuai kehendak diri. Sebab, terlampau sering dijumpai, politisi yang rajin bersiasat dan terampil berlobi -- sebagaimana sejarah bumi pertiwi kerap bertutur -- acapkali disiasati pula saat tengah bersiasat oleh sang rekanan siasatnya, entah dari lingkaran dalam apalagi dari lingkaran luar keorganisasian partai politiknya. Inilah kekhasan model perilaku berpolitik manusia Indonesia: tanpa arah, tanpa konsistensi, tanpa imajinasi, tanpa strategi. Sepenuhnya impulsif untuk kepentingan sesaat yang abstrak.


Berdasarkan observasi, momentum menata kelanggengan berhegemoni lazim tiba dan mencuat kuat tatkala atmosfir pesta demokrasi lima tahunan sekali sudah semakin dekat. Salah satu metodanya adalah dengan merancang undang-undang bagi penyelenggaraan pesta demokrasi yang bisa menyekat hadirnya 'kaum atau individu pendatang baru' melalui seperangkat ketentuan hukum yang mengatur 'tapal batas kuantitatif perolehan suara yang dianggap layak untuk para partisipan duduk di parlemen dan jika mau ikut pacuan pemilihan presiden'. Maka tak terlampau mengejutkan jika kemudian menyembullah rancangan 'undang-undang nan egoistik' yang mengusung gagasan kontroversial seputar keharusan meraih 'bobot perolehan suara yang berkadar tinggi' -- untuk ukuran Indonesia yang baru saja memasuki alam demokrasi -- agar sebuah partai bisa diperkenankan menaruh wakilnya di parlemen termasuk pula jika berkehendak terjun ke gelanggang cadas pertarungan kekuasaan selaku partisipan lomba pencalonan presiden.


Meneropong gelagat seperti itu, sudah jauh-jauh hari banyak pihak yang berada di luar sirkulasi kekuasaan segera melontarkan kritikan tajam selama berlangsungnya pembahasan rancangan undang-undang bertipe 'egoistik-ahistoris ' demikian, karena dirasa hanya akan membebani semangat berdemokrasi yang baru saja mekar merekah indah di negeri penuh keajaiban ini. Namun kaum politisi yang tengah naik daun bersikukuh penuh percaya diri -- seolah-olah dukungan rakyat terhadap mereka itu abadi -- mengabaikan saran-saran agar aturan 'tapal batas minimal perolehan suara yang kelewat tinggi' segera diturunkan kembali seperti sediakala sebagaimana pernah ditetapkan sebelumnya pada undang-undang yang lama di awal-awal niat tulus pencanangan orde reformasi tak lama setelah orde baru ambruk.


Walhasil hasilnya nihil! Anjing menggonggong namun kafilah tetap tengadah pongah berlalu cuek-bebek. Perundang-undangan baru yang menuntut persyaratan kelewat tinggi itu pun akhirnya telak diberlakukan. Bahkan peluang alternatif bagi calon independen nonpartai ikut ke gelanggang pertarungan pesta demokrasi lima tahunan sekali, juga ditiadakan. Memang menyedihkan, rasanya tak ada celah terbuka sedikit pun bagi orang-orang baru di luar lingkaran perpolitikan yang ada saat sekarang untuk bisa melenggang berpacu.


Dibukanya ruang kompetisi maksimalis yang menggairahkan hingar-bingar pentas politik, yang gencar menggelegar, di masa awal idealisme era dimulainya reformasi satu dekade lalu, kini justru semakin diciutkan oleh semangat hegemonistik menuju ke ruang beku kompetisi serba minimalis. Sungguh menggelikan begitu cepat sejarah terlupakan dan betapa mudah nurani tergadaikan.


Belum cukup sampai di situ, banyak orang di luar sirkulasi kekuasaan yang bernalar kritis mempertanyakan pula seputar misteri formula rekrutmen yang diterapkan para politisi di parlemen sewaktu merekrut calon anggota komisi yang akan diserahi tanggung jawab melaksanakan sekaligus mengawal kesucian pesta demokrasi lima tahunan. Ada keresahan di hati publik, terutama kaum terpelajar, yang mempertanyakan, mengapa figur-figur mumpuni yang dianggap punya kualitas dan integritas, justru gugur di awal seleksi, tak terpilih sebagai anggota komisi? Suara kritikal ini pun diuapkan begitu saja.


Akhirnya, apa boleh buat, kesemua ulah 'egoistik ahistoris' itu mendatangkan hasil mubazir. Nampak kasat mata betapa semerawutnya perilaku kolektif pengorganisasian pesta demokrasi 2009, yang menurut suara publik patut dikategorikan 'berkualitas buruk'. Sungguh ironis menyaksikan banyak pemilih yang terhalangi hak pilihnya akibat amburadulnya daftar pemilih tetap dan peragaan memalukan dari 'instrumen modern perangkat teknologi informasi' yang malah menghadirkan kesan idiot atas paparan informasi penghitungan suara yang 'jalan terseok-seok serba lambat ketinggalan jaman'.


Lucunya, 'peraturan tapal batas pembobotan suara nan tinggi', yang disinyalir publik untuk meminimalkan ruang terbuka bagi tumbuh kembangnya politisi baru yang lebih independen di luar sirkulasi kekuasaan kalangan politisi berbasis hegemonistik, justru mengkerangkeng para inisiatornya sendiri. Senjata makan tuan, rupanya. Tak dinyana, perolehan suara jeblok, persyaratan tapal batas sok tinggi malah tak terlampaui, sehingga muncul kebingungan saat harus berlaga mengajukan calon presiden dari kandang sendiri. Terpaksa pula menggandeng pihak lain walau tak sehati. Siapa bilang hukum karma tidak ada?


Agaknya, inilah harga yang harus dibayar. Niat hegemoni politik, atau niatan hegemoni apa pun, termasuk hegemoni bisnis, tanpa dibarengi atmosfir akan kehadiran ruang terbuka bagi kompetisi maksimal, hanya berujung pada olengnya keseimbangan interaksi sosial dan merugikan diri sendiri akibat hilangnya sistem sinyal kontrol internal pada lembaga-lembaga politik tanah air; sekaligus pula menumpulkan: nalar cerdas, karakter tangguh, energi kelahi, disiplin baja, dan kejelian persepsi, yang berbuntut serba keliru memformulasi strategi sewaktu berpesta demokrasi merengkuh suara hati rakyat. Kualat!


Jangan dikira publik (rakyat) tidak tahu akan adanya hawa hegemonistik dibalik dinamika politik nusantara. Tak heran jika usai pesta demokrasi tak nampak semburat gembira di hati anak bangsa. Hanya ada tembang sunyi pesta demokrasi. Siapa yang menang, siapa yang kalah, seolah rakyat sudah tak peduli, karena semuanya serba medioker, tanpa tersedia sejumlah figur alternatif yang benar-benar baru, independen, muda usia dan segar tampilannya tanpa dosa masa lalu, menawan tidak membosankan, berkualitas juga berintegritas, yang lengkap tersedia di etalase 'pasar politik'. Mungkinkah itu?


Dari pengalaman hari kemarin, semoga masih tersisa segelintir politisi independen masa kini yang sanggup berkiprah tanpa terjerat hutang budi dari sang patron figur politik masa lalu yang bernuansa hegemonistik, yang punya nyali membendung laju hegemonistik politik dan kekuasaan yang semakin terasakan. Serta menyadari sepenuh hati akan pentingnya bagi keorganisasian partai untuk segera membuka lahan kompetisi berpolitik seluas-luasnya, semaksimal mungkin, dengan menelorkan undang-undang yang sufistik, adil, historis, dan bijak bestari demi: akurasi menseleksi siapakah yang benar-benar punya kompetensi untuk berlaga di kancah politik, menjaga kekokohan pilar demokrasi, dan menghindari keruntuhan citra perpolitikan dalam negeri. Sebab, berpolitik itu sesungguhnya sangat sehat dan idealnya sanggup menggembirakan batin segenap warga masyarakat.


Mumpung belum terlambat, moga-moga masih ada seberkas sinar terang perubahan di tahun 2014 mendatang, saat eskalasi peralihan generasi baru mulai melaju. Siapa tahu?


Sekiranya tak mau jua berubah, ya terserah, bersiaplah musnah jadi debu sejarah.


[] Photo: National Geographic []


September 4, 2009

p e r i s c o p e | Sumberdaya Manusia Tanpa Bakat dan Minat Adekuat




man is born free
and everywhere he is in chains
(ROUSSEAU)
Richard Osborne; 'Philosophy for Beginners',
Writers and Readers, Inc. , 1992



Seorang ekspat (wanita) dari Eropa yang sudah meniti asam garam penugasan manca negara, suatu saat melontarkan keheranannya tentang perilaku karyawannya. "Saya suka sekali bekerja di Indonesia, karena masyarakat di sini sangat ramah terhadap kulit putih. Demikian pula halnya dengan para karyawan saya. Mereka baik hati, cerdas, rajin bekerja, terlihat riang dan doyan becanda. Namun anehnya dalam soal inisiatif mereka terlihat pasif, tak berani melangkah untuk sekadar memecahkan persoalan sederhana. Jika ada problema di kantor atau pabrik mereka sepertinya enggan memikirkan solusinya, dan tak ubahnya seperti 'robot' langsung menyerahkan permasalahan kepada atasannya, dan sang atasan akan menyerahkan kepada atasannya lagi, hingga akhirnya menumpuk di meja saya.


"Lambat laun saya pun mulai frustasi dan tumbuh perasaan jengkel. Saya sudah berupaya untuk merubah mentalitas pasif itu dengan pelatihan, tetapi apa daya, tak membuahkan hasil berarti. Satu-satunya impian saya kini, hanyalah bisa merekrut sumberdaya manusia (SDM) yang serba tangkas berinisiatif, sehingga mampu meringankan beban pikiran saya agar tak terkuras hanya untuk memikirkan penanganan kasus-kasus remeh-temeh belaka. Tetapi rupanya tak mudah. Setiap kali dilakukan perekrutan baru hasilnya serupa, hanya berganti rupa dengan mentalitas yang sama, walaupun upah yang mereka terima jauh di atas upah minimum yang diberlakukan pemerintah. Mengapa?"

Setali tiga uang. Dalam berbagai kesempatan merajut obrolan dengan beberapa pebisnis (pria) dalam negeri, uniknya, terlontar keluhan yang sama. "Kami selalu terbentur dengan permasalahan mencari orang yang sreg di hati, yang bisa dilepas tanpa harus terus menerus dikomandoi. Kami senantiasa kesulitan mencari orang (baca: SDM) yang berani mengambil inisiatif memecahkan kesulitan tehnikal di perusahaan dengan merancang solusi praktis tanpa perlu menanti petunjuk kami. Itulah masalah 'utama' kami, bukan krisis finansial global, birokrasi lamban, modal usaha minim, KKN, atau infrastruktur yang amburadul.


"Akibatnya, walau kami punya modal cukup disertai ide melimpah, akan tetapi ujung-ujungnya tetaplah ragu untuk berkiprah melebarkan sayap di sektor riil, melalui langkah memperbesar perusahaan atau mendirikan pabrik-pabrik baru. Apa artinya ide dan modal tanpa dukungan orang, sebab kami sendiri sudah terlampau sibuk menangani perusahaan yang ada. Tugas kami sebagai pebisnis katakanlah 'papan atas', adalah mengkonsentrasikan diri pada sisi strategi manajerialnya (manajemen strategik). Jika setiap saat direcoki dengan problema teknis bisnis, kapan tersedia waktu lengang kami untuk berfikir menyusun perencanaan strategik bagi ekspansi organisasi (perusahaan)?"

Pernyataan demikian sungguh ironis, betapa di negeri yang berpenduduk ratusan juta orang, malah susah mencari orang (SDM) yang bisa dilepas untuk mengomandoi operasionalisasi organisasi usaha tanpa terlalu banyak bergantung pada atasan, CEO, ataupun sang pemilik (komisaris). Merespons fenomena ini, terdengar analisis beragam. Ada yang bilang 'lembeknya SDM' kita seperti itu akibat upah rendah. Atau dikarenakan faktor historis-kultural dari terlampau lamanya dijajah Belanda. Sementara pendapat lain berkata akibat represi orde lama dan terutama orde baru yang sentralistis dan 'tergila-gila memberi petunjuk', sehingga manusia Indonesia mati suri jiwanya serta kehilangan daya nalar inisiatifnya.

Padahal eksisnya perilaku inisiatif merupakan pertanda hadirnya geliat insting kehidupan, juga pertanda kemajuan. Terciptanya proses produksi barang dan jasa berangkat dari inisiatif berimajinasi, inisiatif riset (ilmiah atau cuma sebatas 'trial and error' saja), serta inisiatif tindakan kewiraswastaan. Jika sering kali muncul kekaguman terhadap ketangkasan aktivitas pekerja (SDM) Barat, tak lain karena kadar inisiatif individual maupun kolektif mereka yang teramat luar biasa.

Dalam literasi-literasi psikologi bisa dijumpai paparan menarik: ketangkasan kerja yang diperlihatkan individu tak lain merupakan resultante dari faktor kecerdasan, bakat dan minat, berikut pola tingkah laku dan struktur kepribadian. Jika diobservasi, SDM Indonesia pada umumnya dikenal cukup cerdas, tetapi memiliki pola tingkah laku yang cenderung inkonsisten, dengan struktur kepribadian yang lumayan lentur. Artinya, walaupun terbilang rada-rada sulit untuk bisa konsisten pada fokus tertentu tetapi berpotensi mampu menyerap dengan cepat beragam pengetahuan yang disuguhkan, serta mudah ber-imitasi, ber-identifikasi, dan beradaptasi dengan berbagai perubahan lingkungan. Tetapi, sayangnya, dengan mata telanjang, terlampau sering dijumpai pekerja atau pebisnis kita yang bekerja justru bukan di bidang yang benar-benar ia minati, dan bukan pula di bidang yang adekuat dengan bakatnya. Mungkin, di sinilah letak esensi permasalahannya!


Wajar saja. Sebab semenjak dari bangku sekolah hingga bangku kuliah, kita jarang mempertanyakan seputar kandungan bakat yang dimiliki dan orientasi minat yang dikehendaki. Karena kita suka membiarkan hidup bergulir seperti air, pokoknya kumaha engke (apa kata nanti), kuliah apa saja yang penting jadi sarjana, bekerja apa saja yang penting halal, rejeki sudah ada yang mengatur kok, pokoknya gimana guratan hoki (keberuntungan). Lambat laun, tahun demi tahun, tanpa disadari pengabaian bakat dan minat bisa berakibat melemahnya energi kolektif-inisiatif kita dan terganjalnya aktualisasi diri secara optimal. Silahkan amati dengan jeli, betapa begitu banyak orang di sekeliling kita yang bekerja tanpa bakat dan minat adekuat sehingga seumur hidupnya tak menghasilkan prestasi apa-apa. Bahkan cukup banyak perusahaan bangkrut bukan karena faktor eksternal seperti kalah bersaing di pasar, tetapi semata-mata kesalahan internal, akibat dikelola secara keliru oleh orang-orang tanpa bakat dan minat adekuat.


Kerancuan sinkronisasi antara alur bakat/minat- sekolah/kuliah- kerja/perusahaan menjadi bertambah parah mana kala kita semakin terjebak pada snobisme angka IPK. Lembaga pendidikan maupun dunia usaha justru sama-sama berkutat mementingkan angka sebagai persyaratan utama rekrutmennya, bukan berfondasi pada keberadaan bakat maupun minat yang adekuat. Lengkap sudah kekeliruan persepsional ini menjamur ke mana-mana.


Orang-orang tanpa bakat dan minat adekuat di bidang pekerjaan yang tengah digelutinya, sudah pasti akan beraktualisasi setengah hati, dan berinisiatif minimalis, juga enggan berkreasi secara maksimal dan total hingga titik darah penghabisan. Jadi, tak terlampau heran, kalau di negeri ini, investasi di sektor riil susah bergerak walau dinamika makro ekonomi lumayan baik. Kita pun kekurangan informasi untuk menelusuri komposisi dan konfigurasi dari orang-orang berbakat dan berminat adekuat di seantero nusantara yang diprediksikan mampu berinisiatif untuk berinteraksi menggerakkan modal yang tersimpan di 'bawah bantal' para konglomerat menjadi investasi nyata.


Manusia dilahirkan Merdeka. Merdeka untuk saling menjalin ikatan kerja sama bersandar pada karunia alami predisposisi bakat dan minatnya. Dan hanya orang-orang yang punya atmosfir batin Merdeka lah yang sanggup mengayuh hati untuk bekerja dibidang yang sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing, tanpa takut kehilangan rezeki.


[] Photo : National Geographic []


September 3, 2009

p e r i s c o p e | Ketiadaan Fokus Walau Generasi Berganti




  Apakah Tuhan yang telah menciptakan aku
sedemikian lemah


akan menegurku suatu hari nanti
karena kelemahanku?

AMIN MAALOUF; 'Leo The African', Bentang, 2005

Seringkali terbetik sekelumit keheranan nalar: mengapa anugerah hamparan bumi nusantara yang teramat kaya raya, iklim yang bersahabat, rakyat yang kreatif sekaligus rajin bekerja, warisan budaya nenek moyang yang multidimensional adiluhung, serta pemerintahan yang lumayan stabil, anehnya belum sanggup menggulirkan percepatan kemakmuran dan kesejahteraan bagi manusia Indonesia secara menyeluruh?

Dimanakah letak sisi kelemahannya, sehingga dari hari ke hari bukannya kemajuan ekonomi yang didapatkan, malah stagnasi bahkan kemunduran laju perekonomian yang terasakan. Fenomena ini sangat mudah kentara, misalnya jika kita melihat betapa makin melorotnya sarana pelayanan publik: gedung sekolah yang roboh bertumbangan, jalan-jalan rusak berserakan, kecelakaan di laut, udara, dan darat yang menjadi-jadi, dsb.

Keterbelakangan pengelolaan kemajuan kehidupan perekonomian semakin terasa lagi mana kala kita menengok ke negara tetangga yang walau hanya teranugerahi kekayaan alam dan budaya yang terbilang pas-pasan, namun sungguh ajaib nyatanya mampu menggiring derap perekonomian secara menakjubkan jauh melampaui bumi pertiwi ini!

Sayangnya, respons yang muncul di seantero negeri sewaktu menyimak lambatnya geliat ekonomi anak bangsa adalah dengan saling menyalahkan di antara para pemimpinnya, atau menuding krisis global sebagai biang kerok keterpurukan ekonomi sekarang, atau mengutuk kaum penjajah yang telah membuat mentalitas inferior dalam diri sanubari kita sehingga sulit bergerak maju.

Padahal, jika mau berkaca sejenak pada negeri-negeri yang pembangunan ekonominya terbilang sukses, bisa dengan mudah diperoleh inspirasi dan introspeksi, bahwa kunci kemajuan mereka sangat sederhana, yakni: f o k u s .

Di era orde lama fokus kita terbelah dalam jargon semangat pembangunan bersimbolkan penggabungan faham 'Nasakom' (Nasionalis, Agama, Komunis) yang hakekat basis filosofisnya serba saling jauh bertentangan. Akibatnya, ekonomi ambruk total dan orde lama tumbang.

Kemudian memasuki era orde baru, khususnya selama tiga 'Repelita' (Rencana Pembangunan Lima Tahun) berturut-turut, barulah terasa ada fokus pembangunan ekonomi yang genah di bawah naungan simbol-simbol 'Pancasila', dan hasilnya pun terasa nyata dengan meningkat pesatnya pendapatan masyarakat. Namun menjelang repelita ke empat, fokus pembangunan mulai menyeleweng terbelah ke mana-mana terutama semenjak adanya "pertanda dari kehendak lepas landas secara terburu-buru" melalui pendirian industri pesawat terbang. Akhirnya, sejarah berulang, orde baru tumbang di periode repelita ketujuhnya.

Maka segera berkuasalah orde reformasi yang tanpa terasa sudah 10 tahun lebih menata negeri ini. Impian rakyat akan keajaiban ekonomi yang dinanti setiap hari ternyata tak kunjung tiba, walau para pemimpin sudah bekerja sekuat tenaga.

Pertanyaan mendasarnya adalah, apalah arti dari suatu kerja keras jika fokus tak nampak jua di hadapan mata? Bukankah tanpa fokus tak mungkin dibangun taktik dan strategi jitu? Di manakah sesungguhnya fokus pembangunan ekonomi orde reformasi itu berada?

Apakah senandung kampanye yang kini tengah ramai didendangkan tentang ekonomi neolib-kah (kapitalisme), ekonomi kerakyatan-kah (sosialisme), dan ekonomi kemandirian-kah (nasionalisme) -- dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing -- masih punya makna strategikal bagi perbaikan nasib rakyat di hari esok, jika tanpa dibarengi fokus yang jelas?

Rasanya, tanpa keberanian menentukan fokus pembangunan ekonomi, yang akan dijalani secara konsisten tentunya, maka punahlah sudah harapan bagi perbaikan substantif perekonomian anak bangsa di masa depan.

Kita akan tergelincir lagi pada kubangan yang sama, menjadi suatu generasi baru yang terperangkap kembali pada jejak kesalahan yang sudah pernah diperbuat generasi lama, walau dengan varian yang berbeda.

Tanpa fokus kita bak bergerak laksana kembang api: melejit ke angkasa, meledak sembari memukau khalayak sejenak dengan semburat cahaya indah warna-warni, lantas mati, tanpa arti!

[] Photo : National Geographic []