Pages

January 26, 2014

q u o t a t i o n | 15 “Mood Changing” Quotes ~ Marla Gottschalk





Here are some of my favorite “mood changing” quotes. I hope they offer you what you might need to impact your day for the better.

 

  1. Choose a job you love and you’ll never have to work a day in your life. – Confucius

     

  2. It’s not the load that breaks you down, it’s the way you carry it. – Lou Holtz

     

  3. Do your work with your whole heart and you will succeed – there is so little competition. – Elbert Hubbard

     

  4. All things are difficult before they are easy. – Thomas Fuller

     

  5. The harder I work, the luckier I get – Samuel Goldwyn

     

  6. Opportunities are usually disguised as hard work, so most people don’t recognize them. – Ann Landers

     

  7. The secret of getting ahead, is getting started. – Mark Twain

     

  8. It is not in the stars to hold our destiny, but in ourselves. – William Shakespeare

     

  9. When we no longer can change a situation, we are challenged to change ourselves. – Viktor E. Frankl

     

  10. There are two kinds of people, those who do the work and those who take the credit. Try to be in the first group; there is less competition there. – Indira Gandhi

     

  11. Study the past, if you would divine the future. – Confucius

     

  12. A career is wonderful, but you can’t curl up with it on a cold night. – Marilyn Monroe

     

  13. Food, love, career and mothers, the four major guilt groups. – Cathy Guisewite

     

  14. Believe you can and you are halfway there. – Theodore Roosevelt

     

  15. Change your thoughts and you change your world. – Norman Vincent Peale 

     


Reference:

Dr. Marla Gottschalk; '15 Quotes to Get Your Head in the Right Place at Work' @ Blog | The Office Blend, 2014.

Dr. Marla Gottschalk is an Industrial/Organizational Psychologist and coach.  Read more of her posts at LinkedIn.   


PHOTO ~ A Shepherd's Flock ~ Juan Aguilar ~ National Geographic

 

January 8, 2014

p e r i s c o p e | Jokowi-Ahok vs Perilaku Oktopusi Birokrasi

 

 

Oktopus adalah mahluk bertubuh lunak yang hidup di laut dengan ciri khasnya “bertangan banyak” (sea creature with a soft body and eight tentacles ~ Collins Dictionary). Adalah MAW Brouwer (1982), seorang ahli psikologi klinis merangkap kolumnis, yang pertama kali melontarkan istilah perilaku oktopusi ketika mencontohkan kasus wanita-wanita (istri, kekasih) yang punya kemampuan luar biasa dalam mengendalikan tindak-tanduk kaum pria (entah itu suaminya, atau kekasihnya), walau pria-pria yang “terjajah” secara mentalitas ini adalah seseorang yang telah mengenyam pendidikan tinggi, memiliki posisi penting entah di pemerintahan, di kemiliteran, atau pebisnis yang sukses, ada kalanya cukup bergelimang harta, atau bahkan berpenampilan lebih keren ketimbang sang wanita yang relatif berpendidikan biasa-biasa saja, berpenampilan sedang, berasal dari keluarga sederhana. Agaknya Brouwer mau menggambarkan realitas yang kerap dijumpainya, bahwa dari balik tirai postur fisik individu yang nampak lunak atau lemah gemulai, bisa lahir suatu kelebihan untuk survival yang tidak terduga, suatu kemampuan bermanuver ekstra luar biasa untuk mengendalikan perilaku seseorang ataupun sekelompok orang yang ada di sekelilingnya. Seperti oktopus yang memang bertubuh lunak, namun memliki “tangan banyak” yang senantiasa bergerak untuk menjaga kontinuitas kehidupannya.

Oktopusi birokrasi

Demikian pula halnya dengan pola perilaku birokrasi kita. Dihadapan para petinggi pemerintahan, komunitas birokrasi negeri ini selalu menampakkan postur diri yang serba lemah, tunduk, patuh, taat, siap menjalankan perintah kapan saja tanpa membantah. Tetapi ketika para bos pemerintahan sudah berlalu maka episode cerita aktualisasinya di lapangan bisa berbeda. Fenomena yang ada justru menggambarkan begitu banyak instruksi pimpinan mereka dari eselon atas tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Coba tengok saat rapat, mereka nampak cermat menyimak apa perintah pimpinan rapat selaku atasannya seakan-akan segera siap untuk dilaksanakan secara cepat, tetapi jangan salah duga, usai rapat korps birokrasi ini akan segera lupa dengan apa yang barusan didengarnya, lantas kembali sibuk dengan segudang kesibukan urusan masing-masing yang sudah diagendakannya sendiri. Segala sesuatunya kembali melambat seperti sediakala.

Masyarakat sesungguhnya sudah tahu, bahwa potret perilaku birokrasi negeri ini tidaklah terlampau menggembirakan. Mereka terbiasa bekerja tanpa asa,  terkesan lemah tak bertenaga, tetapi dalam realitas empirisnya, justru memproyeksikan hal sebaliknya: sedemikian alot  untuk berubah atau dirubah. Sedemikian dahsyat kekuatannya, melilit siapa saja yang berhubungan atau tengah ada keperluan mengurus ini dan itu, termasuk membelit sang pimpinan agar menjadi mandul, tak berkutik, terdikte, hingga akhirnya bergantung dan bergerak sesuai dengan irama kinerja birokratik yang dikehendaki mereka: tereduksi menjadi pemimpin formal birokrasi di eselon atas yang “terjajah” tanpa berkesanggupan mengendalikan dinamika aktivitas kinerja anak buahnya yang berada dalam posisi lebih bawah, lebih lemah. Wajar jika kita menyebutkannya sebagai perilaku oktopusi birokrasi.      

Observasi partisipan penulis semenjak era reformasi menggumpalkan kesimpulan pribadi betapa bandel dan sulitnya merubah pola perilaku oktopusi birokrasi di ranah Ibu Pertiwi, di mana korps birokrasi tanpa suara, tanpa aba-aba, tanpa komando, bisa bergerak dalam langgam yang sama; serentak, setiap hari, dengan “seribu tangan” masif mengendalikan denyut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sembari tanpa kenal lelah mematisurikan segenap motivasi para pemimpin yang tengah berupaya melakukan segudang perubahan sampai akhirnya keok kehilangan asa dan stamina berprestasinya. Untuk menutupi kegagalan diri dalam merombak kinerja birokrasi ini, maka kini sering dijumpai para pemimpin yang rajin berkatarsis tampil narsis di muka publik via media massa: berkompensasi dengan beriklan membesarkan postur diri - melampiaskan citra eksistensial abal-abal - bahwa dirinyalah sang pemimpin (atawa penghayal) sejati selaku “sang pengendali”.

Angin segar

Di tengah kegalauan publik menyaksikan potret perilaku oktopusi birokrasi, tanpa terduga muncul angin segar dari segelintir pemimpin muda yang berani tampil beda dan punya nyali untuk merombak kinerja birokrasi yang ada di wilayah tanggung jawabnya, antara lain sebut saja duet Gubernur Jakarta dan wakilnya yang akrab dipanggil Jokowi-Ahok . Tentunya di benak keduanya sudah ada insight, bahwa persoalan yang paling penting dan mendasar adalah perihal kinerja birokrasi yang kini tengah dipimpinnya, terutama menyangkut aspek kedisiplinan dan etos kerja. Tanpa melalui peningkatan disiplin dan etos kerja birokrasi, sulit rasanya menggelindingkan perubahan dan kemajuan yang signifikan, menularkan virus motivasi berprestasi setinggi mungkin, baik di lingkaran birokrasi itu sendiri maupun masyarakat luas.  

 

Jokowi memulainya dengan membagi kerja antara dirinya dan wakilnya berdasarkan pada postur fisik dan personaliti masing-masing. Jokowi yang berpostur kurus, lincah bak kancil, agak introvert namun luwes, mengambil peran “feminin” selaku negosiator, motivator, dan aspirator melalui metoda blusukan. Ia mendatangi langsung, berbicara, mendengarkan keluhan maupun keinginan warganya dari hati ke hati sembari berkompromi mencari solusi.  Sedangkan Ahok yang berpostur tubuh lebih berisi dan tegap, berpribadi agak kaku, ekstrovert namun tegas, menjalankan peran “maskulin” selaku administrator yang galak yang mengemban tugas menertibkan pelaksanaan peraturan maupun perundang-undangan tanpa pandang bulu sembari giat memompakan disiplin kolektif baik di lingkaran birokrasi maupun di kalangan masyarakat. Nampaknya perbedaan karakteristik fisik maupun personaliti  duet Jokowi-Ahok menjadi berkah tersendiri karena menjadi magnit bagi media massa untuk terus menguntit dan memberitakan kiprah keduanya, berdampak positif mendongkrak popularitas sekaligus mempermudah mensosialisasikan beragam gagasan ke publik, termasuk gagasan melakukan lelang jabatan birokrasi agar bisa merekrut individu selaku abdi pemerintahan yang punya komitmen tinggi mau berprestasi sepenuh hati melayani warga kotanya, terutama loyal mengayomi rakyat kecil yang seringkali terpinggirkan dan terlantarkan.

 

Merenggang?

 

Jarang sekali kita jumpai di negeri ini ada pejabat publik yang punya kesanggupan mengendalikan aparatus birokrasinya seperti yang sudah diperlihatkan oleh Jokowi-Ahok. Kebanyakan para pejabat publik kita justru dikendalikan dan terperangkap dalam kungkungan para bawahannya. Namun kini muncul kekhawatiran baru, bahwa keberhasilan Jokowi-Ahok menundukkan eselon bawahannya dan sekaligus mengendalikan dinamika organisasi birokrasi tersebut, bisa memunculkan masalah baru yang krusial yang tak terduga, yakni melemahnya kohesi, sinergi, kekompakkan internalitas dalam tubuh Jokowi-Ahok itu sendiri. Dan jika itu terjadi, berarti lonceng pembaharuan dan pembenahan Jakarta nyaris tak berdenting nyaring lagi, bukan diakibatkan oleh ulah "musuh bersama" - perilaku oktopusi birokrasi - yang sudah berhasil ditaklukkannya itu; tetapi semata-mata karena perbedaan karakter, diskrepansi persepsi personal maupun latar belakang kultural di antara kedua pemimpin muda yang tengah naik daun tersebut. Jangan sampai usai "musuh bersama" telah tumbang, soliditas dua pribadi  orang nomor satu dan dua Kota Jakarta bergulir merenggang. Semoga hal demikian tidaklah menjadi kenyataan ke depan. Amin!

 

K E P U S T A K A A N

  • MAW Brouwer; Ceramah-ceramah di Bandung, 1982.

  • Collins; Popular English Dictionary, HarperCollins Publishers, First Edition, Glasgow, 2009.