Pages

October 3, 2014

r e c o m m e n d a t i o n | Tritunggal presidensial Indonesia


(:-:) Sudah semakin nyata, Indonesia, dalam kurun waktu lima tahun mendatang, secara eksistensial akan dipimpin oleh 3 orang figur presiden, berpola tritunggal presidensial di mana: figurJokowi akan berkiprah selaku presiden formal di ranah pemerintahan, figur SBY akan terus berproses menjadi presiden informal penyeimbang dinamika perpolitikan, dan figur Prabowo yang nampaknya akan semakin lancar bergulir menata orkestrasi selaku presiden oposisional parlemen. 
Masing-masing "presiden" ini saling memiliki "kelebihan" atau pun "kekurangan". Jokowi punya jangkauan infrastruktur, aparat, juga dana birokrasi yang gampang dimobilisasi, SBY punya banyak kawan serta paling paham sistem dan tarik-ulur geliat perpolitikan nusantara, sedangkan Prabowo punya potensi menstrukturi esensi maupun corak perundang-undangan yang hendak dilahirkan, dibekukan, diganti ataupun diperbaharui.
Kalau sejenak menengok ke belakang, model tritunggal presidensial pernah juga terjalin semasa rezim ode baru berkuasa, di mana Soeharto walau oleh rakyat kebanyakan dimitoskan sebagai penguasa tunggal, namun dalam persepsi kalangan elit ia terlihat berbagi kue kekuasaan dengan 2 figur lain: Widjojo Nitisastro selaku presiden teknokrat yang memegang kartu kepercayaan dunia Barat, dan Soedono Salim selaku presiden pebisnis yang memegang kepercayaan para pemilik modal dalam dan luar negeri, sedangkan Soeharto sendiri dipercaya sepenuhnya oleh TNI (ABRI). Mungkin Soeharto cerdas belajar dari kegagalan manajerial negeri seluas Indonesia oleh dwitunggal Soekarno-Hatta sehingga ia rela berbagi kekuasaan secara informal-eksistensial melalui langkah strategis merajut praksis tritunggal presidensial Soeharto-Widjojo-Soedono. Sayangnya kekompakan kerja sama tritunggal presidensial yang terbina membangun bangsa semasa orba, lambat laun di belakang hari tak lagi serasi dan mulai berjalan timpang kemudian retak tanpa ikatan, akibat ada kehendak Soeharto agak setengah memaksa untuk memasukkan Habibie pendatang baru dari Jerman yang ahistoris menjadi bagian tritunggal figur presidensial saat itu; yang nampaknya tidak diamini oleh dua figur lainnya. Akibatnya, harga yang harus dibayar menjadi teramat mahal, karena tanpa nyana saat krisis moneter menerjang negeri ini, Soeharto praktis harus menghadapinya sendirian, maka ia pun tumbang.
Hari ini kita belum bisa cepat tau, apakah tritunggal presidensial Jokowi-SBY-Prabowo, yang kebetulan terbentuk alami tanpa upaya rekayasa apa pun usai pilpres yang berlangsung meriah, akan menghadirkan berkah atau sumpah serapah, karena makna gestaltnya bergantung sepenuhnya pada keluwesan, kematangan, kedewasaan, dan kecerdasan intelektual maupun emosional di antara masing-masing figur terkait.
Walaupun orang Perancis bilang, sejarah senantiasa terulang!
Salam psikologi...