Pages

February 13, 2015

r e c o m m e n d a t i o n | Berpikir dahulu sebelum bekerja ...


Seperti ungkapan bijak kaum fenomenolog, bahwa 'ikan melihat segala hal kecuali air', maka orang nomor satu negeri ini, di hari akhir tahun 2014 ini, boleh jadi telah melihat segala hal problematika anak bangsa kecuali problematika perubahan perilaku dirinya yang teramat drastis semenjak ia bermukim di istana.

Belum seumur jagung berkuasa, banyak orang terperangah betapa Presiden Jokowi telah banyak berubah: tak seramah dulu, tak sesabar sebagaimana yang dikenal. Ia kini selalu bergerak terburu-buru, menghindari negosiasi, semakin menutup diri, bahkan hampa kontemplasi. 
Tutur katanya pun tak lagi humoris penuh vitalitas seperti dulu; yang terasa sekarang jika ia menjawab pertanyaan ataupun kritikan, adalah gumaman kata-kata bernuansa robotik, mengalir mekanistik seperti kaset yang berulang diputar yang acapkali memperlihatkan inkonsistensi ekspresi antara jalinan kata dengan raut muka.


Jika observasi ini dianggap akurat, maka patut ada pertanyaan psikologikalnya: mengapa sedemikian cepat fenomena perubahan perilaku tersebut mencuat? Jawaban sementaranya, besar kemungkinan ia mengalami sindroma kelelahan mental yang lazim bersarang di relung kejiwaan para tokoh bisnis maupun publik.

Jika coba ditelusuri kira-kira ada 4 faktor kondisional psikopolitik selaku penyebabnya -- yang menyiratkan miskinnya sumber daya perpolitikannya yang mau tak mau menjadi kendala kiprah total kepresidenannya dan sekaligus membebani kehendaknya untuk berprestasi menjulang tinggi, di mana dalam situasi demikian akan berlaku hukum kontradiksi perilaku bahwa 'semakin kencang ia hendak berlari semakin kuatlah sergapan kelelahan mental psikologik menyelubungi' -- karena:

1. Tak dinyana ia hanya menang tipis saat Pilpres, dan ini sangat mengejutkan sekaligus mencemaskan, sebab tadinya ada keyakinan akan mudah menang mutlak. Apalagi kemenangan yang berhasil diraih nyata-nyata berkat spontanitas dukungan kerja keras awak media dan kaum relawan yang bergiat secara sukarela dan bukan korbanan dedikasi para sekutu politik yang terkesan ongkang-ongkang kaki. (Sayangnya tak ada satu pun perwakilan kaum relawan di kabinet, seolah andil mereka hendak dinegasikan!) Pasti terbayang perlu ekstra energi untuk menjinakkan para oposan yang berkekuatan berimbang, juga tak boleh lengah sejenak karena bisa tercipta mosi tak percaya yang bakalan merepotkannya.

2. Tidak punya bekal infrastruktur kekayaan pribadi yang luber maupun akar kesejarahan posisi dominasi keningratan politik di partai, yang bisa berfungsi selaku topangan tawar-menawar kekuasaan: dengan demikian ia bisa dengan mudah digiring secara halus ataupun terang-terangan untuk semata-mata di-boneka-kan, walaupun ia sendiri ingin mandiri namun cukup sulit aktualisasinya karena semenjak awal proses perjalanan ke tangga kepresidenannya relatif terlampau banyak bergantung budi pihak lain. Lambat laun situasi mengambang seperti ini bisa mendatangkan rasa frustratif berkepanjangan.

3. Masih dominannya pengaruh politik figur mantan presiden (SBY) dan juga figur komandan koalisi kaum oposisi (Prabowo) yang tak lain merupakan pesaingnya saat Pilpres: baik di parlemen maupun di tengah masyarakat yang mana kedua figur ini setiap saat berpotensi melakoni peran misteri mendukung atawa mengurung jejak langkah kepresidennya lima tahun ke depan.

4. Walaupun dukungan rakyat jelata di jalanan nampak demonstratif menyanjung dirinya, namun ia agaknya menyadari kunci inti kesuksesan citra pemerintahan serta lancarnya guliran dinamika pembangunan kesejahteraan masyarakat sangat bergantung pada keberpihakan dan keloyalan kaum kelas menengah khususnya di perkotaan yang celakanya ditengarai secara mayoritas lebih tertarik mengidola figur Prabowo, sang pesaingnya saat Pilpres, ketimbang dirinya. (Kekuasaan seorang presiden secara teoritikal barulah akan kokoh jika ditopang terutama oleh kelas menengah perkotaan. Gus Dur yang suka blusukan mancanegara walau populer didukung akar rumput, toh mudah ditumbangkan ketika ia ditinggalkan kalangan kelas menengah perkotaan negeri ini.)

Alhasil Presiden Jokowi sadar sesadar-sadarnya seputar ketidakmandirian dan kekurangkokohan posisioning politiknya di kancah nasional. Ia berusaha maksimal untuk mensiasati kelemahan Itu dengan bermanuver mendirikan kantor transisi, mempercepat pengumuman Kabinet Kerja, membagi-bagikan kartu filantropi berwarna-warni bagi Wong Cilik, dan menaikkan harga BBM untuk mengumpulkan kapital bagi pembangunan infrastruktur, ditambah dengan blusukan ke sana-ke mari. Sayangnya langkah-langkahnya itu dilakukan dengan tergesa dan tanpa modifikasi apa pun. Ia hanya mengulang langkah yang terbiasa dilakukan saat memangku jabatan walikota dan gubernur padahal seting sosialnya berbeda, apalagi ia tidak punya penasihat handal yang sanggup memberikan advis cerdik-cendikia; para advisornya hanya sekumpulan anak muda rumahan yang kurang pengalaman empirik hidup keras di jalanan serta sebatas berbekal modal nekat mengandalkan persepsi teoritikal via buku-buku teks.

Nyatanya langkah presiden kita yang serba tergopoh ini tak mempesona anak bangsa, malah menuai kontroversi nonproduktif di parleman maupun di obrolan keseharian warga masyarakat. Terutama upaya kabinet kerja yang ceroboh dengan menaikan harga BBM di saat harga pasar dunia tengah turun, sangat melukai batin masyarakat!!! (Agaknya Jokowi perlu mencermati kecerobohan perilaku politik yang pernah dilakukan oleh Habibie tatkala menyelesaikan masalah Timor Leste melalui proses referendum yang serba terburu-buru, yang malah ujung-ujungnya menghasilkan kerusuhan berdarah berskala besar di sana. Sayang sekali hal itu terjadi, sebab jika sedikit bersabar, proses lepasnya Timor Leste dari Indonesia bisa berlangsung mulus, damai, dan penuh persahabatan.)

Sebentar lagi kita akan memasuki fase 100 hari pemerintahan baru, maka sudah pasti akan banyak amunisi politik yang akan ditembakkan oleh lawan-lawan politik untuk mengkritisi sang presiden. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi, sebab akibat keteledoran pemerintah yang pongah terutama saat menaikkan harga BBM, telah memudarkan harapan dan simpati anak bangsa terhadap kabinet kerja. Mereka merasa tak akan ada perubahan apa-apa di bumi Indonesia, semuanya berulang sama, semuanya stagnan, yang ada hanya sekadar berganti orang.

Orang Barat bilang, Roma tidak dibangun hanya dalam satu hari.
Jadi mengapa harus serba terburu-buru membangun Indonesia?
Mari berpikir, berpikir, dan berpikir terlebih dahulu sebelum bekerja, bekerja, dan bekerja.


Selamat Tahun Baru 2015
Salam psikologi ...