Pages

March 16, 2015

r e c o m m e n d a t i o n | Dinamika Bisnis Gelap Narkotika dan Senjata



Jika dicermati secara teliti, baik itu dari literasi atau pun berita media massa, maka bisa terdeteksi adanya semacam alur keterkaitan antara bisnis gelap narkotika dan senjata, yang diduga dikendalikan oleh aparatus intelijen global, dengan tujuan mencari dana tambahan bagi operasi tertutup maupun terbuka demi 'mengamankan bergulirnya globalisasi ke seluruh pelosok dunia'.
Ketika masih berlangsung perang dingin antara ideologi komunisme versus kapitalisme, para aparatus intelijen dunia Timur dan Barat memperoleh suplai dana yang melimpah tanpa pengawasan parlemen untuk saling bertarung, yang berujung dengan kemenangan kapitalisme Barat yang lantas berganti nama memproklamirkan diri menjadi ideologi globalisme atau lebih populer disebut globalisasi.
Semenjak globalisasi merebak, mendadak parlemen di banyak negara pengusung dan pengikut globalisasi mulai rewel dan risi melihat bujet aparatus intelijen global yang digelontorkan secara besar-besaran dan nyaris tanpa pengawasan. Akibatnya anggaran operasi intelijen mulai dikurangi sehingga aparatus intelijen global mulai melirik terjun mencari sumber-sumber dana ilegal dari bisnis gelap narkotika dan senjata; untuk membiayai operasi mereka di seluruh dunia tanpa perlu melapor dan tanpa pengawasan parlemen, karena anggarannya tidak diperoleh dari uang legal yang bersumber dari rakyat pembayar pajak.
Para pemimpin dunia bukannya tidak tahu hal ini -- terkecuali para pemimpin negeri ini yang saking polosnya rasanya kurang paham soal-soal seperti ini -- namun tak bisa berbuat banyak sehingga berlagak pilon: di atas tanah gembar-gembor memberantas bisnis haram narkotika dan senjata, namun di bawah tanah tutup mata mengamini maraknya bisnis gelap narkotika dan senjata demi perolehan tambahan anggaran guna membiayai kerja aparatus intelijennya mengamankan akselerasi globalisasi di muka bumi yang nyata-nyata butuh pasokan dana tak terbilang dibanding semasa perang dingin dulu.
Jika dalam uraian ini bisa terasa nilai obyektivitasnya, maka patut disimpulkan bahwa kobaran semangat pemerintah negeri ini untuk mengeksekusi tanpa henti dan tanpa pandang bulu keseluruhan terpidana mati narkotika, dengan alasan hendak meredusir persebaran narkotika dan demi menjungjung kedaulatan negara, justru terasa salah kaprah bak pungguk merindukan bulan!
Sebab, melihat anatomi bisnis haram narkotika dan senjata, maka membasminya pun hanya efektif jika diaktualisasi melalui rangkaian operasi kontraintelijen semesta dan kolektif yang melibatkan partisipasi semua aparatus keamanan negara berikut ragam warga masyarakat dari berbagai kelas sosial, anak-anak muda, aktivis LSM, aktivis mahasiswa, para guru dan dosen, seniman, sastrawan, pemusik, pekerja seni, awak media, pengurus osis, pemimpin informal, agamawan, kaum profesional, dan ibu-ibu rumahtangga; barulah terbuka harapan peredaran gelap narkotika dan saudara sekandungnya berupa penjualan senjata, bisa ditangkal hingga ke akar-akarnya.
Tanpa strategi membumi, amunisi yang diletupkan akan berbalik menjadi senjata makan tuan...
Salam psikologi ...

r e c o m m e n d a t i o n | Menerima àtau menolak grasi manusia terpidana mati narkotika



Manusia, meminjam alam pikir kaum eksistensialis, bisa disebut sebagai mahluk yang tanpa jeda akan terus meng-ada, bereksistensi mengukuhkan makna keberadaan (jati) dirinya melalui relasi sirkuler saat ia mengambil inisiatif individual berinteraksi dengan lingkungan fisik maupun sosialnya dalam pola: stimulus-respon-stimulus.
Manusia, mengacu sudut pandang psikologi fenomenologi, diurai selaku mahluk inspiratif serba istimewa dalam balutan perpaduan daging & roh: daging yang me-roh dan roh yang men-daging. Perpaduan roh-daging ini mau tak mau mengkonstruksi manusia menjadi produk yang unik, sekaligus serba rumit dan lumayan sulit untuk dipahami tatanan ragam perilakunya: mahluk ciptaan Sang Penguasa Alam yang seutuhnya terbilang paling kompleks.
Derajat kompleksitas manusia, sampai kapan pun, diyakini oleh banyak akhli psikologi, tidak mungkin bisa disetarakan, digambarkan, atau disederhanakan dengan jejeran notasi angka-angka statistikal semata, karena berpotensi meredusir analisis diagnostikal psikodinamika sosok kepribadiannya secara utuh selaku: sebuah sistem psiko-fisik yang beraktualisasi menjalani survival kehidupannya melalui upaya penyesuaian diri secara terus menerus dengan lingkungannya. Dalam proses penyesuaian diri inilah manusia akan mengalami fase jatuh-bangun meniti gelombang arus kehidupannya dalam siklus integrasi-desintegrasi-reintegrasi.
Menyelami pisau analisis kaum psikoanalis, terkristal pandangan, apakah kelak manusia secara individual atau komunal berkemungkinan untuk menjadi orang baik dan buruk, ramah atau judes, pemaaf atau pendendam, malaikat atau psikopat, introvert atau ekstrovert, homoseks atau heteroseks, feminin atau maskulin, agresif atau pasif, pemarah atau penyabar, pemimpin atau pengikut, supel atau kaku; bahkan terperosok menjadi pemadat, pemasok, pengedar, ataupun bandar narkotika pada akhirnya: banyak bersandar pada proses formatisasi kepribadiannya sedari usia balita yang tidak selalu bisa berlangsung secara adekuat, otonom dan terkontrol. Sehingga dikatakan manusia itu sesungguhnya mahluk yang penuh dengan misteri yang sebahagian besar pola perilakunya justru dikendalikan oleh alam bawahsadarnya.
Dengan demikian, seiring dengan bergeloranya rencana eksekusi mati terpidana narkotika secara berjamaah, maka untuk menjawab hingar-bingarnya polemik perlu tidaknya grasi hukuman mati bagi para narapidana narkotika tersebut, tentunya bagi sang pemberi/penolak grasi terasa perlu kiranya mempertontonkan ke hadapan publik nasional maupun internasional perspektif kedalaman dan keluasan pemahaman holistiknya menyangkut "binatang apakah sesungguhnya manusia pebisnis haram narkotika, manusia terpidana mati narkotika maupun manusia korban narkotika itu".
Jangan sampai terjadi situasi, di mana para terpidana mati narkotika yang sudah ataupun akan dieksekusi di Nusakambangan, ternyata hanyalah para "cecunguk" di seberang lautan yang tak punya makna apa-apa dalam pemberantasan peredaran narkotika, sebab aktor utamanya justru ada di pelupuk mata namun tak terlihat sang pemberi/penolak grasi.
Kepada mereka yang lebih suka bekerja ketimbang membaca, gemar menambah koleksi burung istana namun lupa membeli buku-buku sastra, semoga bisa semakin berhati-hati, rajin berkontemplasi, demi terhindar dari predisposisi jebakan kesemerawutan perangkap eksistensi semu citra suci kedaulatan negara di balik tirai rencana gelombang rombongan eksekusi mati para terpidana narkotika.
Salam psikologi...