Pages

September 6, 2009

p e r i s c o p e | Fenomena Mengeluh Manusia Asia



Mereka yang mampu
harus melakukan.

Yang tak mampu
harus mengajar.

Dan yang tak mampu mengajar
harus menjadi administrator.

LEWIS PERDUE; 'Daughter of God', Dastan Books, 2006



Seorang dokter di salah satu negara Eropa, yang tengah memeriksa pasiennya yang kebetulan adalah orang Indonesia, tiba-tiba bergumam melontarkan uneg-uneg pribadinya yang sudah sekian lama terpendam:

"Dulu, saya berpendapat, bahwa kalian orang-orang Indonesia itu atau orang-orang Asia pada umumnya, yang lazim dikenal sangat religius, gotong royong, dan nonkapitalistik; walaupun secara fisik adalah jauh lebih lemah dibandingkan dengan orang-orang Barat, namun secara 'mentalitas', 'psikologis', dan 'spiritualitas', kalian tentunya masih lebih menonjol, bahkan lebih tahan menderita ketimbang orang-orang Barat yang kadung terbiasa hidup dalam corak masyarakat bernuansakan individualisme, sekulerisme, dan kapitalisme.

"Namun, setelah puluhan tahun berpraktik sebagai dokter yang kebetulan banyak bergaul dan berpengalaman mengobati ragam pasien terutama dari Indonesia serta negara-negara Asia lainnya; lambat laun pandangan, analisis, dan persepsi saya ini, sayangnya harus segera berubah total.

"Yang menjadi sumber penyebabnya, dikarenakan mayoritas dari pasien-pasien saya yang berkebangsaan Indonesia ataupun negara-negara Asia lainnya, setelah saya perhatikan secara teliti, nyatanya kok mudah sekali 'mengeluh', 'cepat berputus asa', 'gampang merasa cemas', dan 'kurang bisa menahan rasa sakit'. Sungguh jauh beda nian dengan pasien-pasien Barat yang saya saksikan sendiri lebih memperlihatkan ekspresi ketabahan, tak suka sembarangan nyinyir berkeluh kesah, dan tetap punya segudang optimisme tinggi walau didera penyakit payah.

"Oleh karena itu, usai mencermati fenomena ini, menukik pertanyaan di lubuk hati saya -- kalaulah persepsi saya ini memang benar adanya -- lantas apa saja kiranya yang dapat manusia Asia, termasuk Indonesia, 'banggakan', 'tawarkan', 'pasarkan', jika semisal kalian ini hendak berhadapan, bersaing, atau bernegosiasi dengan manusia-manusia Barat? Masih tersisakah segelintir kelebihan tertentu yang kalian miliki selaku bangsa Asia, terutama sebagai bangsa Indonesia, yang diyakini tidaklah dimiliki oleh bangsa Barat?

"Coba Anda bayangkan. Secara agregat postur fisik kalian kalah telak. Orang Barat jauh lebih kekar, bahkan lebih menarik, serba keren, ganteng dan cantik.

"Dari sisi kecerdasan, kalian masih sedemikian jauh tertinggal bagai bumi dan langit. Boleh dibilang semua teori yang kalian pakai berasal dari belahan Barat.

"Mentalitas? Oh, saya ulangi sekali lagi, dari realitas yang saya jumpai, nampaknya kalianlah yang justru lebih cepat mengeluh, patah semangat, dan bermotivasi rendah ketimbang manusia-manusia Barat!

"Kalau kekayaan, materi, uang, kemakmuran? Ah, maaf, bangsa Barat jauh lebih kaya, juga lebih makmur, walaupun secara jujur harus saya utarakan bahwa sebahagian kekayaan tersebut diperoleh mereka dengan cara merampok dari negeri jajahan, dan sebahagian lainnya, memang melalui jalur prestasi kerja keras!

"Sedangkan mengenai akselerasi seni budaya adiluhung? Rasanya presentasi kultural Barat masih lebih monumental ketimbang karya-karya Asia umumnya, termasuk pula Indonesia khususnya. Karya-karya sastra, film, tarian, teater, lukisan, musik, nyanyian dari manusia-manusia Barat jauh lebih memukau dan otentik. Tak perlu heran jika seabreg pelanggaran hak cipta pun marak di Asia, apalagi Indonesia, akibat rendahnya kreativitas dibarengi hukum yang serba longgar dan manipulatif. Di Barat, kreativitas melejit hampir sempurna diikuti dominasi hukum yang sanggup ditegakkan dengan pasti tanpa kompromi.

"Belum lagi kalau kita bicara soal 'presisi kerja', 'keteraturan dan ketertiban administrasi', 'kualitas dan kinerja organisasi'. Sudah pasti Barat makin tak terkejar, mereka bergerak sigap melayang ke angkasa raya hingga menyelami lautan terdalam di seluruh pelosok dunia.

"Akhirnya, jika mengikuti arus nalar sehat pribadi, maka mau tak mau saya 'terpaksa harus berani menyimpulkan' bahwa bangsa-bangsa Asia termasuk di dalamnya bangsa Indonesia (terkecuali Jepang), hampirlah tidak mungkin lagi punya sebongkah kesanggupan untuk mampu mengejar, melawan, berhadapan, memasarkan, ataupun bernegosiasi 'secara seimbang' dengan bangsa-bangsa Barat.

"Saya berkeyakinan penuh bahwa yang akan terjadi sampai akhir abad ini, tak lain hanyalah eksploitasi 'ke-kami-an' Barat terhadap 'ke-kamu-an' Indonesia, eksploitasi Barat yang superior terhadap Asia, termasuk Indonesia yang inferior: bukan kerja sama 'ke-kita-an' dengan kapasitas yang sederajat.

"Dari sudut pandang profesi saya -- atas nama sumpah kedokteran yang menjunjung kemuliaan martabat kemanusiaan -- fenomena ketidak seimbangan ini tak boleh dibiarkan berlarut hingga tak jelas juntrungannya dan perlu segera dicari jalan keluar genialnya. Tetapi bagaimanakah caranya? Siapakah yang dianggap sanggup merumuskan solusinya secara cemerlang? Di segala lini bangsa-bangsa Asia termasuk Indonesia sejatinya sudah telak terlumpuhkan, tertaklukkan menjadi 'masyarakat impoten'.

"Sampai detik sekarang, saat saya berdiri di hadapan Anda, belum juga tercerap di nalar saya, cahaya solusi yang bisa diterapkan untuk menyibak dan mengoyak ketemaraman demikian. Ini masalah abstrak yang hanya sanggup dilacak oleh mereka yang diberkahi 'kekuasaan sekaligus mata dan nyali tajam'.

"Apalah daya saya, seorang dokter yang sehari-hari sibuk menggeluti problematika jasmani para pasiennya, bukan aparatus tertinggi birokrasi yang punya segudang kuasa dalam menentukan masa depan suatu bangsa!

"Atau, boleh jadi, diam-diam Anda sudah punya jalan keluarnya, kristalisasi jawabannya?"

Namun di ujung percakapan satu arah ini, dengan segudang rasa malu, pasien dari bumi Indonesia tersebut, sialnya tak sanggup menjawab pertanyaan jelimet sang dokter. Ia hanya tertunduk lesu dengan pikiran beku, terpojokkan sambil membatin lirih: Ampun Gusti, hari ini agaknya hamba hanya bisa berpasrah dan beserah diri kepada Mu saja ....

(Catatan: kisah ini bukan rekaan tetapi rekonstruksi imajinatif atmosfir perbincangan riil antara dokter dan pasiennya -- walaupun cenderung monolog -- yang pernah dialami oleh seorang akademisi Indonesia yang cukup punya nama sewaktu berobat ke salah satu dokter Barat lanjut usia yang sekaligus pula merupakan sahabat karibnya di tanah Eropa).

[] Photo: National Geographic []

No comments:

Post a Comment