Pages

September 5, 2009

p e r i s c o p e | Nuansa Hegemonistik Politik Menuai Tembang Sunyi Pesta Demokrasi





Sebelum terlambat!
Mumpung rumahmu masih berdiri kokoh,
gudangmu masih penuh,
dan mumpung masih bisa menawar
dengan harga yang baik
untuk bisnis gagalmu.
PATRICK SUSKIND; 'Perfume', Dastan Books, 2006



Boleh dibilang, sudah banyak orang merasakan ada semacam benang merah keganjilan dalam kiprah berpolitik para politisi kita, di mana kekuasaan yang tergenggam di tangan sang politisi beserta partai politik asuhannya semakin nampak jumawa memabukkan, dan bahkan ditenggarai berkecenderungan mengilhami timbulnya hasrat perilaku adiksi mereka untuk berhegemoni meminimalkan kompetisi, misalnya melalui manuver di parlemen dalam menggiring lahirnya 'perundang-undangan nan egoistik' yang diperkirakan bakalan ampuh melanggengkan jejak dominasi diri berikut kelompok ikutannya di kerlap-kerlip panggung sandiwara kehidupan politik anak bangsa.


Padahal, bagi mereka yang mau berpikir arif, siasat merajut benang hegemoni politik dan kekuasaan melalui skenario menggiring proses pengesahan 'perundang-undangan nan egoistik' seperti itu, disadari tidaklah selamanya bisa mendatangkan hasil adekuat sesuai kehendak diri. Sebab, terlampau sering dijumpai, politisi yang rajin bersiasat dan terampil berlobi -- sebagaimana sejarah bumi pertiwi kerap bertutur -- acapkali disiasati pula saat tengah bersiasat oleh sang rekanan siasatnya, entah dari lingkaran dalam apalagi dari lingkaran luar keorganisasian partai politiknya. Inilah kekhasan model perilaku berpolitik manusia Indonesia: tanpa arah, tanpa konsistensi, tanpa imajinasi, tanpa strategi. Sepenuhnya impulsif untuk kepentingan sesaat yang abstrak.


Berdasarkan observasi, momentum menata kelanggengan berhegemoni lazim tiba dan mencuat kuat tatkala atmosfir pesta demokrasi lima tahunan sekali sudah semakin dekat. Salah satu metodanya adalah dengan merancang undang-undang bagi penyelenggaraan pesta demokrasi yang bisa menyekat hadirnya 'kaum atau individu pendatang baru' melalui seperangkat ketentuan hukum yang mengatur 'tapal batas kuantitatif perolehan suara yang dianggap layak untuk para partisipan duduk di parlemen dan jika mau ikut pacuan pemilihan presiden'. Maka tak terlampau mengejutkan jika kemudian menyembullah rancangan 'undang-undang nan egoistik' yang mengusung gagasan kontroversial seputar keharusan meraih 'bobot perolehan suara yang berkadar tinggi' -- untuk ukuran Indonesia yang baru saja memasuki alam demokrasi -- agar sebuah partai bisa diperkenankan menaruh wakilnya di parlemen termasuk pula jika berkehendak terjun ke gelanggang cadas pertarungan kekuasaan selaku partisipan lomba pencalonan presiden.


Meneropong gelagat seperti itu, sudah jauh-jauh hari banyak pihak yang berada di luar sirkulasi kekuasaan segera melontarkan kritikan tajam selama berlangsungnya pembahasan rancangan undang-undang bertipe 'egoistik-ahistoris ' demikian, karena dirasa hanya akan membebani semangat berdemokrasi yang baru saja mekar merekah indah di negeri penuh keajaiban ini. Namun kaum politisi yang tengah naik daun bersikukuh penuh percaya diri -- seolah-olah dukungan rakyat terhadap mereka itu abadi -- mengabaikan saran-saran agar aturan 'tapal batas minimal perolehan suara yang kelewat tinggi' segera diturunkan kembali seperti sediakala sebagaimana pernah ditetapkan sebelumnya pada undang-undang yang lama di awal-awal niat tulus pencanangan orde reformasi tak lama setelah orde baru ambruk.


Walhasil hasilnya nihil! Anjing menggonggong namun kafilah tetap tengadah pongah berlalu cuek-bebek. Perundang-undangan baru yang menuntut persyaratan kelewat tinggi itu pun akhirnya telak diberlakukan. Bahkan peluang alternatif bagi calon independen nonpartai ikut ke gelanggang pertarungan pesta demokrasi lima tahunan sekali, juga ditiadakan. Memang menyedihkan, rasanya tak ada celah terbuka sedikit pun bagi orang-orang baru di luar lingkaran perpolitikan yang ada saat sekarang untuk bisa melenggang berpacu.


Dibukanya ruang kompetisi maksimalis yang menggairahkan hingar-bingar pentas politik, yang gencar menggelegar, di masa awal idealisme era dimulainya reformasi satu dekade lalu, kini justru semakin diciutkan oleh semangat hegemonistik menuju ke ruang beku kompetisi serba minimalis. Sungguh menggelikan begitu cepat sejarah terlupakan dan betapa mudah nurani tergadaikan.


Belum cukup sampai di situ, banyak orang di luar sirkulasi kekuasaan yang bernalar kritis mempertanyakan pula seputar misteri formula rekrutmen yang diterapkan para politisi di parlemen sewaktu merekrut calon anggota komisi yang akan diserahi tanggung jawab melaksanakan sekaligus mengawal kesucian pesta demokrasi lima tahunan. Ada keresahan di hati publik, terutama kaum terpelajar, yang mempertanyakan, mengapa figur-figur mumpuni yang dianggap punya kualitas dan integritas, justru gugur di awal seleksi, tak terpilih sebagai anggota komisi? Suara kritikal ini pun diuapkan begitu saja.


Akhirnya, apa boleh buat, kesemua ulah 'egoistik ahistoris' itu mendatangkan hasil mubazir. Nampak kasat mata betapa semerawutnya perilaku kolektif pengorganisasian pesta demokrasi 2009, yang menurut suara publik patut dikategorikan 'berkualitas buruk'. Sungguh ironis menyaksikan banyak pemilih yang terhalangi hak pilihnya akibat amburadulnya daftar pemilih tetap dan peragaan memalukan dari 'instrumen modern perangkat teknologi informasi' yang malah menghadirkan kesan idiot atas paparan informasi penghitungan suara yang 'jalan terseok-seok serba lambat ketinggalan jaman'.


Lucunya, 'peraturan tapal batas pembobotan suara nan tinggi', yang disinyalir publik untuk meminimalkan ruang terbuka bagi tumbuh kembangnya politisi baru yang lebih independen di luar sirkulasi kekuasaan kalangan politisi berbasis hegemonistik, justru mengkerangkeng para inisiatornya sendiri. Senjata makan tuan, rupanya. Tak dinyana, perolehan suara jeblok, persyaratan tapal batas sok tinggi malah tak terlampaui, sehingga muncul kebingungan saat harus berlaga mengajukan calon presiden dari kandang sendiri. Terpaksa pula menggandeng pihak lain walau tak sehati. Siapa bilang hukum karma tidak ada?


Agaknya, inilah harga yang harus dibayar. Niat hegemoni politik, atau niatan hegemoni apa pun, termasuk hegemoni bisnis, tanpa dibarengi atmosfir akan kehadiran ruang terbuka bagi kompetisi maksimal, hanya berujung pada olengnya keseimbangan interaksi sosial dan merugikan diri sendiri akibat hilangnya sistem sinyal kontrol internal pada lembaga-lembaga politik tanah air; sekaligus pula menumpulkan: nalar cerdas, karakter tangguh, energi kelahi, disiplin baja, dan kejelian persepsi, yang berbuntut serba keliru memformulasi strategi sewaktu berpesta demokrasi merengkuh suara hati rakyat. Kualat!


Jangan dikira publik (rakyat) tidak tahu akan adanya hawa hegemonistik dibalik dinamika politik nusantara. Tak heran jika usai pesta demokrasi tak nampak semburat gembira di hati anak bangsa. Hanya ada tembang sunyi pesta demokrasi. Siapa yang menang, siapa yang kalah, seolah rakyat sudah tak peduli, karena semuanya serba medioker, tanpa tersedia sejumlah figur alternatif yang benar-benar baru, independen, muda usia dan segar tampilannya tanpa dosa masa lalu, menawan tidak membosankan, berkualitas juga berintegritas, yang lengkap tersedia di etalase 'pasar politik'. Mungkinkah itu?


Dari pengalaman hari kemarin, semoga masih tersisa segelintir politisi independen masa kini yang sanggup berkiprah tanpa terjerat hutang budi dari sang patron figur politik masa lalu yang bernuansa hegemonistik, yang punya nyali membendung laju hegemonistik politik dan kekuasaan yang semakin terasakan. Serta menyadari sepenuh hati akan pentingnya bagi keorganisasian partai untuk segera membuka lahan kompetisi berpolitik seluas-luasnya, semaksimal mungkin, dengan menelorkan undang-undang yang sufistik, adil, historis, dan bijak bestari demi: akurasi menseleksi siapakah yang benar-benar punya kompetensi untuk berlaga di kancah politik, menjaga kekokohan pilar demokrasi, dan menghindari keruntuhan citra perpolitikan dalam negeri. Sebab, berpolitik itu sesungguhnya sangat sehat dan idealnya sanggup menggembirakan batin segenap warga masyarakat.


Mumpung belum terlambat, moga-moga masih ada seberkas sinar terang perubahan di tahun 2014 mendatang, saat eskalasi peralihan generasi baru mulai melaju. Siapa tahu?


Sekiranya tak mau jua berubah, ya terserah, bersiaplah musnah jadi debu sejarah.


[] Photo: National Geographic []


No comments:

Post a Comment