Pages

September 4, 2009

p e r i s c o p e | Sumberdaya Manusia Tanpa Bakat dan Minat Adekuat




man is born free
and everywhere he is in chains
(ROUSSEAU)
Richard Osborne; 'Philosophy for Beginners',
Writers and Readers, Inc. , 1992



Seorang ekspat (wanita) dari Eropa yang sudah meniti asam garam penugasan manca negara, suatu saat melontarkan keheranannya tentang perilaku karyawannya. "Saya suka sekali bekerja di Indonesia, karena masyarakat di sini sangat ramah terhadap kulit putih. Demikian pula halnya dengan para karyawan saya. Mereka baik hati, cerdas, rajin bekerja, terlihat riang dan doyan becanda. Namun anehnya dalam soal inisiatif mereka terlihat pasif, tak berani melangkah untuk sekadar memecahkan persoalan sederhana. Jika ada problema di kantor atau pabrik mereka sepertinya enggan memikirkan solusinya, dan tak ubahnya seperti 'robot' langsung menyerahkan permasalahan kepada atasannya, dan sang atasan akan menyerahkan kepada atasannya lagi, hingga akhirnya menumpuk di meja saya.


"Lambat laun saya pun mulai frustasi dan tumbuh perasaan jengkel. Saya sudah berupaya untuk merubah mentalitas pasif itu dengan pelatihan, tetapi apa daya, tak membuahkan hasil berarti. Satu-satunya impian saya kini, hanyalah bisa merekrut sumberdaya manusia (SDM) yang serba tangkas berinisiatif, sehingga mampu meringankan beban pikiran saya agar tak terkuras hanya untuk memikirkan penanganan kasus-kasus remeh-temeh belaka. Tetapi rupanya tak mudah. Setiap kali dilakukan perekrutan baru hasilnya serupa, hanya berganti rupa dengan mentalitas yang sama, walaupun upah yang mereka terima jauh di atas upah minimum yang diberlakukan pemerintah. Mengapa?"

Setali tiga uang. Dalam berbagai kesempatan merajut obrolan dengan beberapa pebisnis (pria) dalam negeri, uniknya, terlontar keluhan yang sama. "Kami selalu terbentur dengan permasalahan mencari orang yang sreg di hati, yang bisa dilepas tanpa harus terus menerus dikomandoi. Kami senantiasa kesulitan mencari orang (baca: SDM) yang berani mengambil inisiatif memecahkan kesulitan tehnikal di perusahaan dengan merancang solusi praktis tanpa perlu menanti petunjuk kami. Itulah masalah 'utama' kami, bukan krisis finansial global, birokrasi lamban, modal usaha minim, KKN, atau infrastruktur yang amburadul.


"Akibatnya, walau kami punya modal cukup disertai ide melimpah, akan tetapi ujung-ujungnya tetaplah ragu untuk berkiprah melebarkan sayap di sektor riil, melalui langkah memperbesar perusahaan atau mendirikan pabrik-pabrik baru. Apa artinya ide dan modal tanpa dukungan orang, sebab kami sendiri sudah terlampau sibuk menangani perusahaan yang ada. Tugas kami sebagai pebisnis katakanlah 'papan atas', adalah mengkonsentrasikan diri pada sisi strategi manajerialnya (manajemen strategik). Jika setiap saat direcoki dengan problema teknis bisnis, kapan tersedia waktu lengang kami untuk berfikir menyusun perencanaan strategik bagi ekspansi organisasi (perusahaan)?"

Pernyataan demikian sungguh ironis, betapa di negeri yang berpenduduk ratusan juta orang, malah susah mencari orang (SDM) yang bisa dilepas untuk mengomandoi operasionalisasi organisasi usaha tanpa terlalu banyak bergantung pada atasan, CEO, ataupun sang pemilik (komisaris). Merespons fenomena ini, terdengar analisis beragam. Ada yang bilang 'lembeknya SDM' kita seperti itu akibat upah rendah. Atau dikarenakan faktor historis-kultural dari terlampau lamanya dijajah Belanda. Sementara pendapat lain berkata akibat represi orde lama dan terutama orde baru yang sentralistis dan 'tergila-gila memberi petunjuk', sehingga manusia Indonesia mati suri jiwanya serta kehilangan daya nalar inisiatifnya.

Padahal eksisnya perilaku inisiatif merupakan pertanda hadirnya geliat insting kehidupan, juga pertanda kemajuan. Terciptanya proses produksi barang dan jasa berangkat dari inisiatif berimajinasi, inisiatif riset (ilmiah atau cuma sebatas 'trial and error' saja), serta inisiatif tindakan kewiraswastaan. Jika sering kali muncul kekaguman terhadap ketangkasan aktivitas pekerja (SDM) Barat, tak lain karena kadar inisiatif individual maupun kolektif mereka yang teramat luar biasa.

Dalam literasi-literasi psikologi bisa dijumpai paparan menarik: ketangkasan kerja yang diperlihatkan individu tak lain merupakan resultante dari faktor kecerdasan, bakat dan minat, berikut pola tingkah laku dan struktur kepribadian. Jika diobservasi, SDM Indonesia pada umumnya dikenal cukup cerdas, tetapi memiliki pola tingkah laku yang cenderung inkonsisten, dengan struktur kepribadian yang lumayan lentur. Artinya, walaupun terbilang rada-rada sulit untuk bisa konsisten pada fokus tertentu tetapi berpotensi mampu menyerap dengan cepat beragam pengetahuan yang disuguhkan, serta mudah ber-imitasi, ber-identifikasi, dan beradaptasi dengan berbagai perubahan lingkungan. Tetapi, sayangnya, dengan mata telanjang, terlampau sering dijumpai pekerja atau pebisnis kita yang bekerja justru bukan di bidang yang benar-benar ia minati, dan bukan pula di bidang yang adekuat dengan bakatnya. Mungkin, di sinilah letak esensi permasalahannya!


Wajar saja. Sebab semenjak dari bangku sekolah hingga bangku kuliah, kita jarang mempertanyakan seputar kandungan bakat yang dimiliki dan orientasi minat yang dikehendaki. Karena kita suka membiarkan hidup bergulir seperti air, pokoknya kumaha engke (apa kata nanti), kuliah apa saja yang penting jadi sarjana, bekerja apa saja yang penting halal, rejeki sudah ada yang mengatur kok, pokoknya gimana guratan hoki (keberuntungan). Lambat laun, tahun demi tahun, tanpa disadari pengabaian bakat dan minat bisa berakibat melemahnya energi kolektif-inisiatif kita dan terganjalnya aktualisasi diri secara optimal. Silahkan amati dengan jeli, betapa begitu banyak orang di sekeliling kita yang bekerja tanpa bakat dan minat adekuat sehingga seumur hidupnya tak menghasilkan prestasi apa-apa. Bahkan cukup banyak perusahaan bangkrut bukan karena faktor eksternal seperti kalah bersaing di pasar, tetapi semata-mata kesalahan internal, akibat dikelola secara keliru oleh orang-orang tanpa bakat dan minat adekuat.


Kerancuan sinkronisasi antara alur bakat/minat- sekolah/kuliah- kerja/perusahaan menjadi bertambah parah mana kala kita semakin terjebak pada snobisme angka IPK. Lembaga pendidikan maupun dunia usaha justru sama-sama berkutat mementingkan angka sebagai persyaratan utama rekrutmennya, bukan berfondasi pada keberadaan bakat maupun minat yang adekuat. Lengkap sudah kekeliruan persepsional ini menjamur ke mana-mana.


Orang-orang tanpa bakat dan minat adekuat di bidang pekerjaan yang tengah digelutinya, sudah pasti akan beraktualisasi setengah hati, dan berinisiatif minimalis, juga enggan berkreasi secara maksimal dan total hingga titik darah penghabisan. Jadi, tak terlampau heran, kalau di negeri ini, investasi di sektor riil susah bergerak walau dinamika makro ekonomi lumayan baik. Kita pun kekurangan informasi untuk menelusuri komposisi dan konfigurasi dari orang-orang berbakat dan berminat adekuat di seantero nusantara yang diprediksikan mampu berinisiatif untuk berinteraksi menggerakkan modal yang tersimpan di 'bawah bantal' para konglomerat menjadi investasi nyata.


Manusia dilahirkan Merdeka. Merdeka untuk saling menjalin ikatan kerja sama bersandar pada karunia alami predisposisi bakat dan minatnya. Dan hanya orang-orang yang punya atmosfir batin Merdeka lah yang sanggup mengayuh hati untuk bekerja dibidang yang sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing, tanpa takut kehilangan rezeki.


[] Photo : National Geographic []


No comments:

Post a Comment